TANGERANG, - PEMAHAMAN UU No 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA, disosialisasikan oleh ketua umum Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Perjuangan Anak Negeri (YLPK-PERARI) HEFI IRAWAN. SH, MH, . Sebagai berikut:
Pihak, Atau Karena Alasan-Alasan Yang Oleh Undang-Undang Di Nyatakan Cukup Untuk Itu.
Suatu Perjanjian Harus Di Laksanakan Dengan Itikad Baik.
Jika Melihat Sumber Dari Perjanjian Fidusia ( Yang Tidak Didaftarkan ) Adalah Perjanjian Pinjam
Meminjam Uang Yang Merupakan Ranah Keperdataan, Maka Kembali Berlaku Pasal 1320 Dan
Pasal 1338 KUHPerdata, Yaitu :
Pasal 1320
Untuk Sahnya Suatu Perjanjian Di Perlukan Empat Syarat :
1. Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya;
2. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan;
3. Suatu Hal Tertentu;
4. Suatu Sebab Yang Halal;
Pasal 1338
( Asas Perjanjian Pacta Sun Servanda )
Semua Perjanjian Yang Di Buat Secara Sah Berlaku Sebagai Undang-Undang Bagi Mereka
Yang Membuatnya.
Suatu Perjanjian Tidak Dapat Di Tarik Kembali Selain Dengan Sepakat Kedua Belah Pihak.
Mencermati Penggunaan Dasar Pasal 372 KUHP Atas Pengalihan Benda Jaminan Fidusia Yang
Tidak Di Daftarkan, Sebelum Kita Mencermati Pasal 372 KUHP Maka Kita Cermati Pasal 4 UUJF,
Yang Berbunyi Bahwa Jaminan Fidusia Adalah Perjanjian Ikutan Dalam Suatu Perjanjian
Pokok Yang Menimbulkan Kewajiban Bagi Para Pihak Untuk Memenuhi Suatu Prestasi. Hingga
Kesimpulanya Bawha Perjanjian Pokoknya Adalah Pinjam Meminjam Uang Antara Debitor
Sebagai Pemberi Fidusia Dan Kreditor Sebagai Pemegang Fidusia, Dan Perjanjian Fidusia Itu
Sendiri Merupakan Perjanjian Tambahan Yang Mengikuti Perjanjian Pokoknya. Dengan
Putusan Hakim Yang Berkekuatan Hukum Tetap.
Kekuatan Hukum Tetap Tersebut Yang Di Maksud Pada Sertifikat Jaminan Fidusia Adalah Kekuatan
Berupa Hak Eksekutorial ( Parate Eksekusi ) Apabila Debitor Melakukan Pelanggaran Perjanjian
Fidusia Kepada Kreditor Sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Oleh Karena
Itu Apabila Pembebanan Benda Jaminan Fidusia Tidak Memenuhi Pasal-Pasal Sebagaiman Di
Sebut Diatas, Maka Perjanjian Jaminan Fidusia Yang Tidak Dibuat Dengan Akta Notaris Dan
Tidak Didaftarkan, Tidak Dilindungi Oleh UU No.42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Yang
Berakibat Pemegang Fidusia Tidak Menyelesaikan Permasalahan Pengalihan Benda Jaminan
Benda Tersebut Oleh Pemberi Fidusia (Debitur) Berdasarkan Pasal 36 UUJF. Di Atur Lebih Lanjut Dengan Peraturan Pemerintah, Apakah
Perjanjian Pembebanan Benda Jaminan Fidusia Tersebut Di Buat Dengan Akta Notaris? Jika
Ya, Maka Ketentuan Dalam Pasal 5 UUJF Telah Terpenuhi.Bahwa Benda Yang Dibebani Dengan Jaminan Fidusia Wajib Di Daftarkan. Apakah Perjanjian
Pembebanan Benda Jaminan Fidusia Tersebut Sudah Didaftarkan? Jika Ya, Maka Ketentuan
Pasal 11 UUJF Telah Terpenuhi.
Sehingga Jika Kedua Pasal Tersebut Telah Terpenuhi Maka Sebagai Wujud Dari Dipenuhinya
UUJF, Pemegang Fidusia Akan Menerima Sertifikat Jaminan Fidusia Yang Memuat Irah-Irah
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dimana Irah-Irah Pada Sertifikat Jaminan Fidusia Tersebut Artinya Memiliki Kekuatan
Eksekutorial Yaitu Kekuatan Yang Sama Mencermati Penggunaan Dasar Pasal 36 UUJF Atas
Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan, Maka Kita Sebaiknya Melihat Dasar Hukum Sebelum
Ke Pasal 36 UUJF, Yaitu;
Pasal 4 UUJF :
Jaminan Fidusia Adalah Perjanjian Ikutan Dari Suatu Perjanjian Pokok Yang Menimbulkan
Kewajiban Bagi Para Pihak Untuk Memenuhi Suatu Prestasi.
Perjanjian Pokoknya Adalah Pinjam Meminjam Uang Antara Debitor Sebagai Pemberi Fidusia
Dan Kreditor Sebagai Pemegang Fidusia.
Pasal 5 UUJF
1. Pembebanan Benda Dengan Jaminan Fidusia Dibuat Dengan Akta Notaris Dalam Bahasa
Indonesia Dan Merupakan Akta Jaminan Fidusia.
2. Terhadap Pembuatan Akta Jaminan Fidusia Dikenakan Biaya Yang Besarnya diatur oleh
pemerintah.
Dalam Prakteknya Sekarang Ini Ternyata Masih Ada Beberapa Kreditur ( Pemegang Fidusia ) Yang
Tidak Mendaftarkan Pembebanan Benda Dengan Jaminan Fidusia. Akan Tetapi Ketika Debitur
Wanprestasi Dan Mengalihkan Benda Jaminanya Kepada Orang Lain, Mereka Menempuh Jalur
Hukum Seolah Orlah Benda Tersebut Didaftarkan.
Jalur Hukum Yang Di Tempuhnyapun Seolah Sama Dengan Pembebanan Benda Jaminan
Fidusia Yang Di daftarkan, Yaitu Dengan Melaporkan Ke Kepolisian Dengan Dasar
Menggunakan Pasal 36 UUJF Ataupun Dengan Menggunakan Pasal 372 KUHP Atas Dugaan
Penggelapan. Keuda Pasal Sebagai Mana Tersebut Diatas Adalah Serupa Tapi Tak Sama.
Karena Pasal 36 UUJF Merupakan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis Yaitu Hukum Yang
Bersifat Khusus Yang Mengesampingkan Hukum Yang Bersifat Umum. Artinya UUJF
Mengesampingkan Undang-Undang Yang Besifat Umum Yaitu KUHP.
Pemikiran. , eksekusi-terhadap-benda-objek-perjanjian-fidusia-dengan-akta-di-bawah-tangan )
Sehingga Pasal 372 KUHP Tidak Dapat Serta Merta Diterapkan Atas Perbuatan Debitur Yang
Mengalihkan Benda Jaminan Fidusia ( Yang Tidak Di Daftarkan ) Karena :
1. Perjanjian Pokok Yang Menjadi Dasar Terbitnya Perjanjian Fidusia Adalah Utang Piutang
Yang Masuk Dalam Ranah Keperdataan.
2. Sebelum Memperoleh Putusan Dari Pengadilan Negri Setempat Yang Menyatakan Siapah Yang
Berhak Dan Sah Secara Hukum Atas Kepemilikan Benda Yang Menjadi Jaminan Fidusia
Tersebut Karena Benda Jaminan Fidusia Tersebut Sebagian Adalah Milik Kreditur Dan Sebagian
Lagi Adalah Milik Debitur.
Oleh Karena Itu Pembebanan Benda Jaminan Pasal 372 KUHPidana Menandakan; Barang Siapah
Dengan Sengaja Melawan Hukum Memiliki Barang Sesuatu Yang Seluruhnya Atau Sebagian
Adalah Kepunyaan Orang Lain, Tetapi Yang Ada Dalam Kekuasaanya Bukan Karena Kejahatan
Di Ancan Karena Penggelapan, Dengan Pidana Penjara Paling Lama 4 Tahun Atau Pidana
Denda Paling Banyak Sembilan Ratus Rupiah.Oleh Kreditor,
Tetapi ini Juga Bisa Jadi Blunder Karena Bisa Saling Melaporkan Karena Sebagian Dari Barang
Tersebut Menjadi Milik Berdua Kreditor Maupun Debitur, Di Butuhkan Keputusan Perdata Oleh
Pengadilan Negri Setempat Untuk Mendudukan Porsi Masing-Masing Pemilik Barang Tersebut
UntukKedua Belah Pihak. Jika Hal Ini Ditempuh Maka Akan Terjadi Proses Hukum Yang
Panjang, Melelahkan Dan Menghabiskan Biaya Yang Tidak Sdikit. Akibatnya, Margin Yang
Hendak Dicapai Perusahaan Yang Tidak Terealisir Bahkan Mungkin Merugi, Termasuk Rugi
Waktu,
Berkaitan Dengan Pengalihan Benda Jaminan Fidusia ( Tidak Didaftarkan ) Dengan Pasl 372 KUHP,
Mari Kita Cermati satu Persatu;
1. Pasal 4 UUJF, Berbunyi Bahwa Jaminan Fidusia Adalah Perjanjian Ikutan Dari Suatu Perjanjian
Pokok Yang Menimbulkan Kewajiban Bagi Para Pihak Memenuhi Suatu Prestasi. Artinya Benda
Jaminan Fidusia ( Tidak Didaftarkan ) Yang Menjadi Jaminan Atas Pelunasan Utang Debitur
Secara Serta Merta Mengikuti Perjanjian Pokoknya Pinjam Meminjam Uang Yang Menjadi
Ranah Keperdataan.
2. Apabila Debitur Mengalihkan Benda Objek Fidusia Yang Di Lakukan Dibawah Tangan Kepada
Pihak Lain Tidak Dapat Di Jerat Dengan UU No. 42 Thaun 1999 Tentang Jaminan Fidusia,
Karena Tidak Syah Atau Legalnya Perjanjian Jaminan Fidusia Yang Dibuat. Mungkin Saja
Debitur Yang Mengalihkan Barang Objek Jaminan Fidusia Di Laporkan Atas Tuduhan
Penggelapan.
Akhirnya Akan Sangat Merugikan Kreditur Ituh Sendiri, Karena Tidak Adanya Jaminan Kepasitian
Hukum Sebagai Mana Yang Telah Di Atur oleh UU No.42 Tahun 1999 Tentang Jaminan fidusia
A. ISU HUKUM (Legal Issues)
Adapun yang menjadi permasalahan hukum antara lain :
1. Bagaimana Penerapan Undang-Undang RI Nomor : 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
(UUJF) menurut Pasal 63 ayat (2) KUHP yang dikenal dalam ilmu hukum sebagai asas lex
specialis derogat legi generalis, yaitu aturan hukum yang lebih khusus mengesampingkan
aturan hukum yang lebih umum.
2. Bagaimana Penerapan Undang-Undang RI Nomor : 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia (UUJF), sebagaimana dimaksud Pasal 36 UUJF …………….. ?
B. SUMBER HUKUM (Source of Law)
Adapun yang menjadi sumber hukum dalam opini hukum (legal opinion) adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
b. Pasal 63 ayat (2) KUH
Undang-Undang RI Nomor : 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (UUJF)
C. ARGUMENTASI HUKUM (Legal Arguments)
PENYIDIK DAN JAKSA PENUNTUT UMUM KEJAKSAAN NEGERI WAJIB MENERAPKAN ATURAN
HUKUM YANG LEBIH KHUSUS MENGESAMPINGKAN ATURAN HUKUM YANG LEBIH UMUM
1. Bahwa Secara istilah asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu aturan hukum yang lebih
khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum, pada dasarnya mengandung satu
kata pokok, yaitu “asas”, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “asas” diartikan sebagai
hukum dasar atau dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat ).
2. Bahwa pada Pasal 28G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi”;
(2) “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari
negara lain”, Hal ini menunjukkan bahwa konstitusi Indonesia melindungi hak seseorang
untuk tidak dituntut atau dihukum atau diterapkan dengan cara penerapan yang
bertentangan dengan aturan hukum yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum
yang lebih umum, Asas lex specialis derogat legi generalis memiliki arti penting untuk
melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan penguasa dan menjaga undang-
undang tidak diberlakukan hukum yang lebih Umum apabila ada Hukum yang lebih
Khusus sehingga ada jaminan kepastian hukum.
3. Bahwa selain itu berdasarkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39
TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA Pasal 5 menyatakan :
(1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh
perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya
di depan hukum.
(2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan
yang obyektif dan tidak berpihak.
(3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya, Dengan
demikian semakin memperjelas bahwa oleh siapapun dan kepada siapapun dilarang
pemberlakuan ketentuan Hukum yang bersifat Umum kecuali Hukum yang bersifat Khusus.
4. Bahwa Laporan Polisi yang dilakukan oleh pihak finance Jelas dan terang tentang
Pengalihan Obyek Jaminan Fidusia yang telah dilakukan oleh Debitur (Pemberi Fidusia)
yang telah mengalihkan Obyek Jaminan Fidusia kepada Pihak lain tanpa seizin Penerima
Fidusia (Ic. Lembaga Pembiayaan. Bahwa atas Laporan para pelaku usaha/finance
biasanya, Penyidik meletakan pasal 36 jo 372 atau 378 , lalu melakukan pelidikan dan
penyidikan dan merutnya sudah lengkap P-21 Dan akan dilimpahkan kejari/JPU, Prihal hasil
penyidikan perkara pidana sudah lengkap ( P-21 ) Ada apa Gerangan ?, Mohon dikoreksi
olah pihak Kejaksaan/JPU;
5. Bahwa Lampiran Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Kehakiman RI,
Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolisian RI Nomor: KMA/003/ SKB/II/1998Nomor:
M.02.PW.07.03.Th.1998Nomor: Kep/007/ JA/2/1998Nomor: Kep 02/11/1998Tanggal 5
Pebruari 1998 menentukan waktu secara limitatif “dalam pengiriman SPDP oleh Penyidik
yaitu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan
dan untuk daerah terpencil selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari” dalam perkara a quo
kami menduga kasus ini di rekayasa karena pelaku pengalihan objek jaminan fidusia
tidak dilakukan proses pelidikan dan penyelidikan;
8. Bahwa Dalam Undang-Undang RI No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Pasal 21
AYAT (3) Menyatakan “Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang telah dialihkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diganti oleh Pemberi Fidusia dengan
objek yang setara”, Jelas menurut Undang-Undang ini apabila terbukti Terlapor
mengalihkan Obyek Jaminan Fidusia, Terlaporlah yang wajib mengganti dengan obyek yang
setara kepada Penerima Fidusia;contoh atas nama telah mengalihkan atau mentecoper
kendaraannya kepada pihak ke dua lalu pihak ke dua tidak mengangsur sesuai perjanjian
biasanya atas nama melaporkan pihak ke dua dengan tuduhan penipuan dan
penggelapan, dalam hal ini jelas pelaku tindak pidana pasal 36 fidusia adalah dibitur atau
atas nama,
9. Bahwa Dalam Undang-Undang RI No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Pasal 22
Menyatakan “Pembeli benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang merupakan
benda persediaan Bebas dari Tuntutan meskipun pembeli tersebut mengetahui
tentang adanya Jaminan Fidusia itu”, dengan ketentuan bahwa pembeli telah membayar
lunas harga penjualan Benda tersebut sesuai dengan harga pasar;
PEMBERLAKUKAN UNDANG-UNDANG No. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA :
10. Bahwa buah hasil dari kajian dan penolakan Asas Hukum Umum dalam Perkara ini, yang
pada intinya diatur sebagaimana dimaksud asas lex specialis derogat legi generalis yang
memiliki arti penting untuk melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan penguasa
dan menjaga undang-undang tidak diberlakukan hukum yang lebih Umum apabila ada
Hukum yang lebih Khusus sehingga ada jaminan kepastian hukum.
11. Bahwa selain itu untuk menindak lanjuti Laporan Polisi, Jelas dan terang tentang Pengalihan
Obyek Jaminan Fidusia (Pemberi Fidusia) yang telah mengalihkan Obyek Jaminan Fidusia
kepada Pihak lain tanpa seiizin Penerima Fidusia (Ic. Lembaga Pembiayaan)” Penyidik
Cukup Memproses Hukum Pemberi Fidusia Sebagaimana dimaksud Pasal 36 UU RI No. 42
Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan tidak Menjerat pihak lain dengan Pasal 378 KUHP
Dan 372 KUHP (Generalis);
12. Dengan demikian semakin jelas bahwa perberlakuan Pasal 378 KUHP Dan 372 KUHP
tentang Penipuan dan penggelapan tidak sesuai dengan fungsi dan tujuan Undang-Undang
42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Untuk itu sudah selayaknyalah Penyidik POLRI
dan JPU Kejaksaan Negeri untuk mematuhi Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung
RI, Menteri Kehakiman RI, Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolisian RI Nomor: KMA/003/
SKB/II/1998Nomor: M.02.PW.07.03.Th.1998Nomor: Kep/007/ JA/2/1998Nomor: Kep
02/11/1998Tanggal 5 Pebruari 1998 menentukan waktu secara limitatif “dalam pengiriman
SPDP oleh Penyidik yaitu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak diterbitkannya Surat
Perintah Penyidikan dan untuk daerah terpencil selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari”;
KESIMPULAN dan REKOMENDASI (Conclusions and Recommendations)
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Diharapkan Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri tidak menerapkan Peraturan
yang TIDAK RESPONSIF, dan hanya menjalankan Hukum sesuai yang diamanatkan
oleh Undang-Undang RI No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia;
2. Diharapkan Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri tidak menerapkan Peraturan
yang TIDAK RESPONSIF, yang cenderung bertentangan dengan fungsi dan tujuan
Asas lex specialis derogat legi generalis memiliki arti penting untuk melindungi warga
negara dari kesewenang-wenangan penguasa dan menjaga undang-undang tidak
diberlakukan hukum yang lebih Umum apabila ada Hukum yang lebih Khusus sehingga ada jaminan kepastian hukum.
Diharapkan penyidik polri dan Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri mematuhi Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menyatakan :
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.” (J.Sianturi/Hefi)